Sunday, May 30, 2010

Besar Kecil Normal Kemiskinan Picu Kekerasan Terhadap Anak

Komisi Nasional Perlindungan Anak menilai faktor ekonomi sebagai pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. "Kemiskinan menyumbang stres terhadap orang tua yang kemudian melampiaskan ke anak,"ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi ketika mengunjungi Siti Ihtiatus Soleha (8 tahun), korban kekerasan terhadap anak di Sunter.

Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang semakin meningkat, kemarahan terhadap pasangan dan ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak.

Diperparah dengan berbagai kebijakan pembiaran yang dilakukan negara terhadap pelanggaran hak anak. Kejadian seperti busung lapar, polio, demam berdarah, anak terlantar, anak putus sekolah sampai pada kenaikan BBM merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan masyarakat menengah bawah.

Untuk itu Komisi Nasional Perlindungan Anak mendesak pemerintah untuk benar-benar melaksanakan kewajibannya dalam menghentikan kekerasan, penelantaran, diskriminasi dan eksploitasi terhadap anak. Komnas juga mendesak pemerintah untuk memberi alokasi anggaran khusus untuk anak-anak korban kekerasan. Anak Indonesia harus memperoleh jaminan untuk memperoleh aksesbilitas layanan kesehatan, pendidikan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta hak partisipasi baik secara fisik maupun psikis.

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak selama tahun 2005 diketemukan 736 kasus kekerasan terhadap anak yang terbagi atas 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis dan 130 kasus penelantaran anak. Banyaknya kasus tersebut sangat memprihatinkan, apalagi tahun 2006 telah dicanangkan sebagai Tahun Hentikan Kekerasan terhadap Anak.

Kekerasan Orangtua Terhadap Anak Meningkat

Sepanjang 2007 sampai tahun 2009 menunjukkan adanya indikasi memburuknya pola pengasuhan dan pendidikan orangtua terhadap anak-anaknya


Hidayatullah.com-- kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia yang kian tahun semakin ”akut” merupakan salah satu bentuk kekerasan struktural terhadap anak. Ketiadaan pola pendidikan terhadap masyarakat oleh negara secara langsung akan berdampak pada tingginya angka kekerasan terhadap anak. Ditambah pula secara kultural, sistem kehidupan bermasyarakat di Indonesia masih banyak diwarnai oleh budaya kekerasan, mulai dari sistem pendidikan di sekolah sampai dunia hiburan.

Pernyataan ini disampaikan Direktur Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Ahmad Sofian, SH, MA menjawab wartawan Rabu, (30/12) di Medan. Sofian menjawab pernyataan wartawan sehubungan dengan kasus penggorokan tiga anak oleh ibu kandung dan sejumlah kasus kekerasan terhadap anak yang berakibat kematian yang terjadi sepanjang 2009.

”Negara kita sama sekali tidak mempunyai paradigma pendidikan terhadap anak di dalam kehidupan berkeluarga, sehingga para orangtua berpersepsi, dapat memperlakukan anak-anak mereka sesuka hati,” kata Sofian.

Padahal, sejatinya, negara harus bertanggung jawab terhadap upaya membangun keluarga yang damai keluarga yang taat hukum, dan itu harus dimulai dari lingkungan terkecil, yakni sebuah keluarga sebagai miniatur sebuah negara,” jelasnya.

Lebih parah lagi, menurutnya, selama ini negara sama sekali tidak menunjukkan adanya perhatian yang serius dalam mencegah, merehabilitasi hingga menanggulangi berbagai bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak yang justru dilakukan oleh orangtuanya sendiri.

”Ini dapat diartikulasikan sebagai sebuah bentuk pembiaran negara terhadap warganya dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan kekerasan,” ujarnya.

Oleh karenanya, Sofian meminta kepada pemerintah Indonesia untuk segera memperhatikan masalah ini, karena hal ini menyangkut masa depan generasa bangsa yang diharapkan sebagai generasi yang cinta perdamaian.

”Negara kita suatu saat akan kacau oleh anak-anak yang dididik oleh orangtuanya dengan kekerasan,” katanya.

Untuk itu, lanjutnya, belajar dari kasus demi kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama ini, pemerintah diminta harus merumuskan pola pendidikan bagi warga negara dalam mendidik anak, termasuk batas-batas hukuman terhadap anak, serta sanksi yang tegas bagi orangtua yang terbukti sebagai pelaku kekerasan.

”Anak Indonesia ya harus dilindungi negara, termasuk dari perlakuan yang salah dari orangtuanya sendiri. Mustahil kita bisa mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan anak, keluarga sejahtera atau apalah namanya, jika pemerintah tidak belajar dari kasus demi kasus yang terjadi,” tukasnya.

Orangtua Kandung Sebagai Pelaku

Data kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara yang dikumpulkan PKPA sepanjang 2007 sampai tahun 2009 menunjukkan adanya indikasi memburuknya pola pengasuhan dan pendidikan orangtua terhadap anak-anaknya. Hal tersebut terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah pelaku kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua kandung sendiri. Ini berbanding terbalik dengan pelaku kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal.

Pada tahun 2007 misalnya, dari 260 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi sepanjang tahun, orangtua kandung (ayah/ ibu kandung) sebagai pelaku tercatat sebanyak 14 kasus (10,21% ) sedangkan orang yang tidak dikenal (OTK) sebagai pelakunya terdata sebanyak 49 orang (20, 85 %).

Pada tahun 2008, jumlah ini mengalami fluktuasi, walaupun orangtua kandung (ayah/ ibu kandung) sebagai pelaku meningkat menjadi 33 kasus (9 % ) dari 360 kasus yang terdata, namun OTK sebagai pelakunya juga semakin meningkat menjadi sebanyak 69 kasus (20 %).

Kemudian pada tahun 2009, dari 172 kasus yang terdata, angka kasus kekerasan terhadap anak semakin menunjukkan indikasi semakin buruknya pola pengasuhan dan pendidikan orangtua terhadap anak-anaknya, yakni pelaku kekerasan terhadap anak dengan orangtua sebagai pelakunya meningkat menurun dari segi jumlah namun meningkat dari segi prosentasi yakni menjadi 21 kasus (13 %), sedangkan pelaku dari OTK menurun drastis menjadi 26 kasus (15 %).

PKPA memprediksi bila hal ini tidak ada tindakan nyata dari pemerintah dalam memberlakukan pola pengasuhan dan pendidikan orangtua tanpa kekerasan terhadap anak diperkirakan persentasi orangtua terhadap anak pada tahun 2010 akan meningkat menjadi 15-20 %, dan OTK sebagai pelaku diperkirakan akan terus menurun hingga 10-14% mengingat semakin menguatnya tingkat kewaspadaan masyarakat dan media massa terhadap para pelaku kekerasan terhadap anak di tataran publik.